GAM adalah sebuah organisasi (dianggap separatis) yang dipimpin oleh Hasan Tiro yang memiliki tujuan supaya daerah aceh atau yang sekarang secara resmi disebut Nanggroe Aceh Darussalam lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Gerakan tersebut telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya hamper 15.000 jiwa.
Tuntutan GAM, sebaiknya dipahami semua pihak (Pemerinah RI dan GAM), sebagai symbol harapan masyarakat aceh agar kekayaan alam mereka dikembalikan untuk pemiliknya (Masyarakat Aceh), dan tidak dikuras habis (Terutama bagi kepentingan pemerintah pusat), sebagaimana eksis di era orde baru. Konflik antara pemerintah RI dan GAM, terutama dalam berbagai kemasan simbolnya yang terjadi di aceh lebih dari 26 tahun terahir, harus tetap diakui sebagai symbol disintegrasi bangsa. Semua pihak harus mau memahami sekaligus menelan pil pahit tersebut. Hanya saja, persoalannya dibalik symbol dimaksud, seharusnya pemerintah RI lebih berjiwa besar mengakui kenyataan, bahwa naik ke permukaannya symbol disintegrasi bangsa di aceh disebabkan oleh kontra produktifnya dimasa orde lalu. Terutama yang berbasis kepentingan pemerintah pusat, dan bukan kepentingan daerah. Seperti sudah banyak diketahui di era orde baru, bumi aceh yang penuh kekayaan alam, seolah hanya diposisikan sebagai simbol kepentingan nasional. Akibatnya, pengelolaan kekayaan aceh tidak mampu meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat aceh. Sayangnya, pemerintah RI terutama lewat aparat keamanannya, kemudian melakukan pendekatan symbol yang sama sekali salah, sekaligus berdarah terhadap warga aceh yang berupaya menuntut hak-hak kedaerahannya. Dalam pendekatan simbol yang dimaksud, pemerintah RI seolah merasa berhak melakukan tindakan operasi militer sebagai salah satu hak pemerintah untuk mempertahankan kedaulatan negaranyaKonflik yang bekepanjangan di Nanggroe Aceh Darussalam cukup berdampak terhadap segala aspek kehidupan masyarakat. Pengaruh yang sangat dirasakan akibat konflik adalah penderitaan rakyat, kerugian harta benda, perasaan tidak aman, perkembangan ekonom darah menjadi terganggu, para penanam modal dalam dan luar negeri enggan untuk berusaha di daerah ini serta proses pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan menjadi terganggu. Perdamaian abadi adalah impian seluruh rakyat aceh. Kehidupan masyarakat damai dan sejahtera merupakan sebuah cita-cita anak bangsa. Oleh karena itu nota kesepakatan anara pemerintah RI dan GAM yang di tandatangani di Helsinki Finlandia pada tangal 15 Agustus 2005 merupakan tonggak sejarah dan pitu gerbang menuju masyarakat aceh madani. Bila kita pelajari, mulai dari jaman pemerintahan Soeharto hingga pemerintahan Megawati telah mencoba mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan konflik kekerasan di aceh namun belum menunjukkan hasil yang memadai. Akhirnya konflik aceh menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Untuk menyelesaikan kasus aceh, pemerintah mencoba mengedepankan melalui non kekerasan dengan menggunakan pendekatan dialogis.
Terdapat kespakatan umum bahwa berbagai aktifitas Negara Indonesia merupakan penyebab utama dari konflik kontemporer tersebut. Bahkan GAM sepakat bahwa dendam rakyat aceh terhadap Negara Indonesia diperparah oleh eksploitasi atas sumber daya alam, mengingkari berbagai janji terkait status daerah istimewa provinsi ini dan pengrusakan yang dilakukan atas masyarakat sipil aceh selama masa operasi-operasi militer.
Tujuan Disarmament, Demobilitation, dan Reintegration
Tujuan sebuah proses DDR antar negara satu dan negara lain berbeda karena tujuan-tujuan itu akan menentukan bagaimana bentuk proses reintegrasi tersebut dan seberapa besar dana ang tersedia unt proses reintegrasi. Program DDR sebagai tahapan program pasca konflik yang didalamnya memuat tujuan yang jelas. Penekanan utama pelaksanaan program DDR pada daerah pasca konflik lebih menitik tekankan berdasar pada keamanan manusia. Program DDR dianggap dapat memberi kontribusi dalam mengurangi rasa ketidakamanan manusia baik bagi mantan gerilyawan atau masyarakat secara keseluruhan.
Implementasi dan Hambatan di Bidang Ekonomi
Konflik bersenjata yang terjadi di aceh menghancurkan tempat kerja dan memperlemah pasar kerja, pelatihan dan lebaga-lembaga lain yang terkait dengan ketenagakerjaan. Secara umum dipahami bahwa reintegrasi ekonomi, dan mencari pekerjaan adalah salah satu tantangan utama dan juga faktor penentu keberhasilan DDR. Kondisi aceh pasca konflik dan pasca tsunami ditandai oleh tingginya tingkat pengangguran terbuka dan pengangguran terselubung, serta merosotnya kondisi ketenagakerjaan dan pendapatan yang tajam. Menciptakan lingkngan yang memungkinkan tersedianya lebih banyak pekerjaan yang lebih baik merupakan tantangan utama di aceh. Hal ini memerlukan upaya yang luas dan terkoordinasi dari Pemerintah Indonesia, mitra-mitranya dan komonitas donor internasional. Sesungguhnya penciptaan keempatan kerja harus menjadi inti dari sebuah strategi yang komprehensif untuk mencapai perdamaian yang abadi, termasuk strategi DDR untuk aceh.
Implementasi dan Hambatan di Bidang Politik, Hukum, dan keamanan
Program-program DDR biasanya dijalankan dalam konteks keamanan yang sangat menegangkan, karena kemampuan pemerintah untuk menjalankan pemerintahan sert menjaga ketertiban dan stabilitas di negara-negara yang terkena dampak konflik biasanya lemah. Karena itu, program-program DDR pada umumnya kekurangan alat-alat untuk menegakkan aturan karena tidak adanya angkatan kepolisian lokal pada saat DDR dilaksanakan. Hal tersebut jelas memiliki konsekuensi-konsekuensi yang serius dalam pemberian bantuan reintegrasi. Salah satu contohnya adalah kelompok-kelompok dan gang-gang bersenjata. Tanpa adanya beberapa tingkat keamanan lokal, tidak masuk akal jika para mantan gerilyawan dibantu untuk memulai bisnis mereka sendiri.
Implementasi dan Hambatan di Bidang Sosial dan Budaya
Reintegrasi adalah proses stabilisasi dalam masa transisi konflik. Sasaran reintegrasi adalah individu yang berpartisipasi dalam konflik. Reintegrasi disini adalah proses dimana mantan gerilyawan (dan orang-orang yang bergantung pada mereka) memasuki kehidupan sipil dan bergabung kembali dengan masyarakat sipil melalui komunitas baru atau lama mereka. Karena itu, program-program reintegrasi harus menitik beratkan perhatian baik pada mantan gerilyawan maupun komunitas penerima. Penciptaan kesempatan kerja telah terbukti menjadi alat utama untuk mencaoai keberhasilan, meskipun tetap menjadi suatu tantangan karena kapasitas penyerapn perekonomian lokal yang hancur akibat perang. Hal itu harus dibarengi dengan berbagai upaya meningkatkan kemampuan kerja para bekas gerilyawan, sehngga mereka dapat memperoleh mafaat dari pekerjaan-pekerjaan yang diciptakan untuk mereka.
Evaluasi Keberhasilan Badan Reintegrasi Damai Aceh
Program-program reintegrasi ang dicanangkan dan dilaksanakan oleh BRDA ternyata relative kurang optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa kelemahan pada aspek hokum dan budget BRDA, serta kurangnya koordinasi dengan lembaga donor lainnya. Pertama, BRDA mendorong pemerintah pusat untuk mengubah paying hokum pembentukan BRDA itu sendiri. Dalam hal ini presiden diminta untuk mengeluarkan surat keputusn yang menyatakan secara jelas jika BRDA merupakan lembaga yang diberi mandate oleh pemerintah untuk mengelola program reintegrasi aceh. Kedua, sebagai konsekuensi logis dari perubahan paying hokum tersebut, BRDA harus memiliki hak untuk mengelola anggaran sendiri. Jangankan untuk mengelola anggaran sendiri, kebutuhan anggaran yang diajukan ke pemerintah pusat juga tidak dipenuhi secara optimal. Ketiga, BRDA bersama dengan berbagai lembaga-lembaga donor yang sangat berkepentingan dengan proses reintegrasi segera menyelesaikan alat ukur perdamaian untuk memberikan petunjuk sudah sampai dimana proses perdamaian berlangsung.
Kesimpulan
BRDA dibentuk guna memberi dukungan sosial kepada masyarakat yang terimbas konflik dengan cara memberi dana pemberdayaan ekonomi kepada seluruh masyarakat yang terimbas konflik. Harus dipahami bahwa penanganan aceh pasca konflik jauh lebih penting dan memakan waktu lebih lama dibandingkan proses rehabilitasi dan rekonstruksi aceh pasca bencana gempa dn tsunami. Hal tersebut disebabkan karena membangun perdamaian berkelanjutan menyangkut berbagai aspek seperti polotik, hokum, keamanan, ekonomi, dan tata pemerintahan serta aspek lainnya yang terkait dengan pengimplementasian nota kesepakatan. Ralph Dahrendorf dengan teori konfliknya menyebutkan, masyarakat senantiasa berada didalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus-menerus diantara unsur-unsurnya. Selain itu pula keteraturan yang ada didalam masyarakat disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang lebih kuat dan masyarakat oleh dahrendorf disebut sebagai persekutuan yang terkoordinasi secara paksa. Oleh karena kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai, maka dalam masyarakat selalu terdapat dua golongan yang saling bertentangan. Pertentangan terjadi dalam situasi dimana golongan yang berkuasa mempertahankan status quo, sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan (Ritzer, 1992 : 31). Status quo didefinisikan sebagai keadaan teap pada suatu saat tertentu. Kata keadaan dalam katan itu, tentu saja bisa secara luas di asosiasikan sebagai keadaan atau situasi sosial politik yang dikondisikan oleh suatu system pemerintahan pada jangka waktu tertentu. Pada dasarnya setiap konflik dapat diselesaikan oleh para pihak, namun kadang-kadang dalam prakteknya terdapat banyak faktor yang menjadikan konflik sulit diselesaikan. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Permasalahan prinsip seperti nilai, etik.
2. Konsekuensi yang besar.
3. Satu yang menang dan yang lain kalah.
4. Transaksi tunggal.
5. Tidak terorganisasi, tidak bersatu, kepemimpinan yang lemah.
6. Pihak ketiga tidak bersikap netral.
7. Tidak berimbang.
Akan menjadi mudah menarik kesimpulan bahwa resolusi konflik tidak mungkin dan bahkan kelompok politik seperti negara akan bertempur sampai mati guna mencapai tujuan mereka. Akan tetapi kita harus melihat rintangan-rintangan tersebut sesuai dengan proporsinya. Kebanyakan konflik kekerasan mengakibatkan biaya yang sangat besar pada masyarakat yang terlibat sehinggga biasanya ada segmen populasi yang besar yang akan mengambil keuntungan dari berakhirnya konflik. Ini adalah kepentingan bersama pada komunita yang bertikai, yang akan mempengaruhi keamanan dan kesejahteraan ekonomi. Orang-orang kebanyakan akan menyambut kedatangan kembali perdamaian dan ingin meletkkan ketegangan yang diakibatkan oleh perang dibelakang mereka.
Sementara itu, Fisher (et.al) (2001 : 62) menguraikan, setelah berakhirnya konflik kekerasan yang mungkin menyebabkan banyak penderitaan pihak-pihak yang bertikai sulit sekali untuk memiliki sikap saling percaya. Negosiasi mungkin akan mengakhiri permusuhan dan mencapai kesepakatan, tetapi pihak-pihak yang bertikai akan merasa takut dan tak lagi saling mempercayai. Meyakinkan kedua belah pihak bahwa yang satu sudah berubah sikapnya memerlukan waktu yang lama. Perubahan sikap hanya dapat dipercayai jika perubahan ini diwujudkan dalam perubahan perilaku yang konsisten.
0 komentar:
Posting Komentar